Ide gila itu tidak kunjung bisa ditendang dari kepalaku. Makin keras usahaku mengusirnya semakin tergoda aku melakukannya. Tidak. Tidak mungkin aku mengatakan pada Rio untuk tidak menikahi Dina. Apa alasannya? Demi aku yang mencintainya?
Sudahlah, Maya. Menyerahlah. Bukankah kamu selalu menginginkan yang terbaik untuknya? Bukannya selama ini kamu selalu bilang cinta itu memberi, bukan menerima. Memangnya apa yang kamu bisa tawarkan selain cinta sepenuh jiwa-raga pada Rio? Sadar, kamu itu bukan siapa-siapa. Nilaimu hanya sepersekian dari Dina. Dia bisa memberi Rio jauh lebih banyak dari yang kamu bisa berikan.
Benar, tidak mungkin Rio mau meninggalkan semuanya demi aku. Lagipula sudah terlambat. Undangan sudah disebar dan pesta pernikahan akbar itu tinggal dua minggu lagi.
Hhhhhhh... Kenapa sih aku harus begitu mencintai lelaki yang lebih memilih pewaris tunggal pemilik pabrik farmasi tempat kami bekerja sebagai pendamping hidupnya walau tidak ada yang lebih mengenal dirinya lebih baik dariku? Karena dia lelaki yang pertama mencuri hatiku? Karena dia yang melindungiku di saat aku terpuruk? Atau karena dia sering bilang kalau dia membutuhkanku?
Pertanyaan-pertanyaan yang itu-itu lagi terus terlontar dan membuatku makin gelisah. Mengapa hidupku tidak berjalan sesuai dengan yang kuimpikan? Tidak ada yang lebih indah selain menghabiskan sisa hidupku bersama orang yang kucintai, tapi mengapa kamu harus begitu ambisius, Rio? Kenapa pula aku goblok, selalu mengiyakan seluruh rencanamu termasuk saat kamu bilang akan menikahi Dina Munaji demi karir kita berdua? Tahukah kamu, aku lebih membutuhkanmu daripada karir setinggi langit? Apa yang membuatmu tidak ingin bersanding denganku, apakah karena keluargaku yang sialan atau jari kelingking kananku yang hilang 1 ruas?
Kuhembuskan napas panjang untuk yang kesekian kalinya, membuat detak jarum detik jam dinding yang terdengar tegas di keheningan malam sejenak tak terdengar. Aku beranjak turun dari ranjang dan berjalan bolak-balik dalam kamar sempit ini untuk menenangkan diri. Namun bukannya mereda, godaan itu malah terus menggila, menggedor seluruh dinding pembuluh darah, mendenyutkan kerinduan yang menagih pada satu-satunya sosok penghuni hatiku.
Rio…
Seraut wajah tampan yang selama ini menjadi matahari dalam hidupku muncul di hadapanku.
“Aku membutuhkanmu, Yakuza…”
Kata-kata maut yang selalu mampu melumerkan hatiku sejak jaman SMA dulu. Aku tidak pernah marah dipanggil seperti itu. Aku juga tidak pernah jengkel bila tangannya yang iseng mampir dan mengacak-acak rambutku yang sudah tertata rapi. Aku bahkan merasa bangga tiap kali dia menyebutku poker face. Keahlianku dalam menyembunyikan perasaan memang sudah terasah dari kecil. Awalnya dipicu rasa malu bila semua orang tahu kelamnya hidupku, tapi kini wajah topengku menjadi salah satu modal utamaku dalam pekerjaan selain otakku yang encer.
Hanya di depan Rio, aku berani melepas topengku. Hanya di hadapannya, Maya Simanto, VP sales & marketing PT Banyu Biru yang cabe rawit itu berubah wujud menjadi perempuan jalang. Dan Rio tahu persis kelemahanku, aku cepat horny kalau sedang senewen dan untuk menenangkannya obatnya cuma ada satu, yaitu orgasme.
Di saat aku stress saat kampanye obat anti masuk angin produk kami yang terbaru ‘Gusur Angin’ tidak berjalan selancar yang diharapkan, dia menerapiku dengan cara menstimulasi libidoku dalam ruang kerjaku yang pintunya terbuka. Orang yang lalu lalang melihat kami seperti sepasang murid sekolah yang tekun belajar bersama, duduk bersebelahan di meja kerjanya sambil menatap layar monitor lcd 19 inci dan berdiskusi dengan suara berbisik. Padahal tangannya sedang mengobok-obok klentit dan vaginaku hingga basah kuyup. Sementara suara bisikan itu adalah kata-kata kotor pembangkit rangsangan darinya bercampur desis menahan nikmat yang keluar dari mulutku. Karena itu celana dalam cadangan selalu tersedia dalam laci meja kerjaku.
Sialan. Mengingat aktivitas extra yang biasa kami lakukan jadi membuatku terangsang. Sakit? Mungkin lebih tepat disebut sakau karena aku ketagihan merasakan orgasme. Sudah lama aku mengidap ‘penyakit’ yang merepotkan ini sejak keperawananku direnggut belasan tahun yang lalu dengan cara yang tak wajar. Dan lagi-lagi hanya Rio yang tahu dan mengerti tentang sejarah ‘penyakitku’. Namun dia tak pernah mencelaku, malah mengagumi nafsu membara yang tersembunyi di balik tubuh mungilku.
“Rio… Hmmm… Mmmm…”
Aku terus menggumam setengah mendesah sementara kedua tanganku melucuti pakaian yang kukenakan. Dalam kegelapan aku telanjang, membayangkan tubuh Rio yang hangat sedang memelukku, jari-jemarinya menelusuri lekuk tubuhku meraba payudara dan selangkanganku.
“Ooohh… Mmmmhh…”
Kupentangkan kedua kakiku dan menggelinjang ketika jari tengah kananku menyentuh benjolan kecil di sana. Sepasang putingku sudah keras berdiri setelah kupelintir bergantian dengan tangan kiriku. Jari tengah kananku sesekali mencolek liang vaginaku untuk mencari pelumas untuk dioleskan pada klentitku yang semakin mengeras.
“Rio… Ri… ooooh…”
Tubuhku menggeletar seiring gerakan memutar dan menekan pada klentitku. Dan saat klimaks itu mengancam datang, tangan kananku menjauh, digantikan telunjuk kiriku yang menyusup masuk dan melakukan gerakan memutar di dalam sana. Kugigit bibir, menahan erangan keras ketika telunjukku menekan dinding vagina yang terasa lembut di belakang kandung kemih, G-spot-ku. Rasa menahan kencing semakin membuat banjir liang kemaluanku.
Selimut di ujung ranjang sudah jatuh ke lantai, tertendang kakiku. Kedua tanganku terus bekerja, kadang cepat kadang pelan. Akhirnya klimaks yang kutahan itu tiba juga membuat punggungku melengkung ke atas dan kedua pahaku merapat, menjepit kedua tanganku.
“Aahhhhh…”
Lenguhan tertahan itu terdengar juga. Jangan sampai para project manager yang menjadi tetangga kiri-kananku mendengarnya. Eh, siapa ya yang jadi tetangga kiriku? Oh, si Bu Mel, project manager dari Jakarta yang judes itu. Bisa-bisa dia ikut-ikutan masturbasi karena sudah lama bercerai dari suaminya yang tukang selingkuh itu. Sedangkan di sebelah kanan kamarku kan dihuni Pak Pur, VP production. Bisa jadi lelaki sepuh yang genit itu ikut-ikutan masturbasi atau bahkan menjilati klentitku dengan lapar seperti yang dulu dilakukan oleh… Stop! Oke, berhentilah membayangkan adegan gila antara aku dan Pak Pur sebelum isi perutku meluap keluar.
Aku duduk dan menyalakan lampu meja. Kuambil tissue dan mengeringkan cairan yang meluber dari liang kewanitaanku. Detak jantungku yang berpacu kencang mulai normal, namun kegelisahan itu belum sepenuhnya hilang malah diam-diam bergerilya mengumpulkan kekuatan untuk mengkudeta ketenanganku.
Sekarang atau tidak sama sekali, May! Mumpung kamu sedang berada di bawah satu atap dengannya. Apa salahnya sih kalau dia tahu isi hatimu?
Masalahnya ini bukan rumahku atau apartemennya, tapi mess kantor di Puncak! Bagaimana kalau sampai ketahuan? Dalam waktu tidak sampai 10 menit berita ini tidak hanya akan menggegerkan Jakarta bahkan mungkin ke seluruh cabang se-Indonesia dan luar negeri. Kemudian kami berdua dipecat, di-blacklist sehingga tidak akan bisa bekerja di perusahaan besar lagi dan karir yang sudah kami rintis dari nol lenyap tanpa bekas.
Bullshit! Pengecut!! Kalian toh hampir selalu bercinta tiap kali ditugasi kemari. Malah kalian selalu merasa ketegangan seperti itu memacu adrenalin, membuat klimaks lebih mudah dicapai.
Tapi waktu itu kan Dina tidak ikut.
Apa kamu lupa kalau sang tuan puteri sombong itu tidak sudi menginap di mess? Dia tinggal di hotel, May. Pakai dong kesempatan ini sebelum kamu menyesal seumur hidup.
Debat sinting itu akhirnya selesai dengan menyerahnya akal sehatku. Dengan sigap, aku berpakaian dan membiarkan keimpulsivan hatiku memerintah kakiku membawaku pergi menuju kamar Rio. 34B, kamar yang selalu dipilih Rio, kamar terbaik dari 10 kamar di lantai 3 ini. Dia memang tahu bagaimana memilih yang terbaik bagi dirinya. Mendadak keraguan kembali menyergap nyali saat tanganku menyentuh gagang pintu. Apa yang kuharapkan dari tindakan spontan ini? Bagaimana kalau akhirnya sama saja, aku tetap tidak menjadi nomor 1 di hatinya atau malah kehilangan dia untuk selamanya? Is it worth it?
Aduh, May, masa kamu harus balik ke kamar dengan tangan hampa? Mau sampai kapan kamu mau jadi pengecut? Kapan kamu akan berani memperjuangkan kebahagiaanmu sendiri?
Oke, oke. Kalau pintu terkunci berarti tandanya aku harus mundur teratur, tapi kalau tidak berarti aku harus terus maju. Kuputar gagang pintu bulat itu dengan perlahan… klek. Pintu terbuka dan kegelapan menyambutku. Persetan dengan Dina dan seluruh kekayaan ayahnya! Akan kutunjukkan pada Rio betapa aku mencintainya!
Aku sudah hapal seluk-beluk kamar ini sehingga kakiku tidak menumbuk kaki meja atau lemari. Tubuhku mendarat mulus di atas ranjang di sudut kamar. Sesosok tubuh di sampingku begitu terkejut hingga nyaris memukulku namun dengan cepat kubekap mulutnya. Tangannya mencekal erat pergelangan tanganku sehingga bekapan itu terlepas.
“Shhh… ini aku,” bisikku buru-buru.
Suaraku terdengar serak karena aku begitu tegang. Dan cekalan itu mengendur.
“Mungkin seharusnya aku nggak datang kemari, tapi aku bisa gila kalau terus menahannya. Aku mencintaimu dan ingin terus memilikimu.”
Kata-kata meluncur terbata dari mulutku. Cekalan itu kini terlepas. Aduh, dia pasti sangat terkejut mendengar pengakuan dosaku.
“Please, jangan membenciku. Aku hanya ingin jujur. Dan seharusnya sejak dulu aku bilang begitu, tapi kuyakin kamu sendiri juga sudah tahu itu. Aku bohong saat menyetujui rencana gilamu. Aku nggak mau berbagi dirimu dengan dia. Haruskah kamu menikah dengannya? Tidakkah kamu miliki sedikit cinta untukku? Apa sebegitu nggak pantasnya aku mendampingimu? Jangan bilang kamu lebih senang menganggapku sebagai teman bahkan adik. Apa yang kita lakukan selama ini bisa disebut inses bila kamu menganggapnya demikian.”
Lalu hening. Kusadari kalau masa depan cinta dan karirku sedang dipertaruhkan. Detik demi detik berlalu terasa begitu menyiksa. Apa Rio sangat tersinggung dengan kata-kataku? Tapi dia kan sudah biasa dengan rentetan kata tanpa tedeng aling-aling yang biasa kuocehkan. Jangan-jangan kali ini dia benar-benar marah karena aku terlalu mengemis atau memaksanya. Dan bayangan kesibukanku sibuk mengirim lamaran kerja ke sana kemari terbayang di benakku.
Apa aku harus minta maaf? Tapi sebelum kata maaf terucap, mendadak tangannya menggerayangi tubuhku. Aku mengerang pelan saat tangan hangat itu menelusup masuk kaus tidurku dan memelintir puting payudara kiriku. Kemaluanku becek lagi. Tubuhku menggelinjang seiring kucekan liar pada bagian selangkanganku. Kulebarkan kakiku untuk memberi ruang untuk tangannya bermanuver.
Sementara ini aku tidak peduli lagi dengan jawabannya karena yang penting bagiku dia tidak marah padaku. Namun saat kurengkuh pundaknya untuk memeluknya, dia mengelak dan malah membalik tubuhku. Padahal aku ingin menciumnya. Disingkapkannya kausku hingga ke atas payudara dan mulai menjilati punggungku sementara tangannya terus sibuk dengan kemaluanku yang makin basah.
“Ooooh… don’t stop…,” desisku sambil terus menggeliat.
Kubiarkan dia menarik lepas celana pendek sekaligus celana dalamku Tanpa disuruh aku langsung menungging.
“Mmmmhh…”
Kucengkeram bantal di depanku saat lidahnya menyapu klentit dan mulut kelaminku. Kurasakan ranjang sedikit bergoyang, pasti dia sedang melepas celana dalamnya.
“Aaaahh!”
Jempolnya tiba-tiba melesak masuk ke dalam liang vaginaku kemudian keluar dan masuk lagi, terus begitu, membuatku tersentak-sentak dan makin panas. Apalagi telunjuknya menggaruk-garuk klentit dan tangan kirinya meremas payudara kiriku dengan gemas. Lidahnya kembali menjilati punggungku, menyusuri tulang belakang dan membuatku merinding.
Orgasme pertama yang datang membuatku membenamkan wajahku pada bantal agar teriakanku teredam. Dia menarik jempolnya yang sudah kuyup diemut mulut bawahku. Sebagai gantinya penisnya yang keras menempel di mulut vaginaku, siap membobol masuk. Namun dia tidak langsung mendorong pinggulnya, malah meremas-remas kedua bongkahan pantat dan mempermainkan bibir bawahku dengan kedua jempolnya. Sesekali klentitku disentuhnya membuatku mendesah tanpa henti.
“Oooh… cepatlah…aku sudah nggak tahan…please…,” erangku sembari menggoyang-goyangkan pantatku.
Kukernyitkan dahi ketika penis keras itu menerobos masuk. Rasanya lebih keras dari biasanya. Mungkin Rio juga sangat terangsang dengan gaya permainan barunya. Akhirnya dia mencoba juga doggy style yang ternyata rasanya luar biasa. Kedua tangannya tak berhenti bekerja. Yang satu memerah payudaraku dan yang lainnya menggosok klentitku. Sesekali dia menggigiti tengkukku dengan gemas membuatku meringis sekaligus terangsang.
“Rio… ooooooohhhh…,” desahku ketika orgasme kedua menyambangiku.
Sejenak dia tak bergerak seperti sedang mendengar deru napasku, kemudian mencabut kemaluannya dan membalik tubuhku hingga telentang. Kukangkangkan kedua kakiku lebar-lebar yang langsung disambut dengan sodokan mautnya yang membuatku kembali tersentak, melambung ke alam kosong. Tubuhnya menindihku. Satu tangannya terus memuntir-muntir puting payudaraku dan yang lainnya mendongakkan kepalaku hingga leherku terekspos. Lidahnya menjilati leher dan dadaku dengan haus. Kujauhkan kepalanya dengan pelan saat bibirnya menyedot leherku. Aku tidak ingin ada cupang di sana. Aneh, seharusnya Rio sadar akan hal itu, tapi… sejak kapan rambut Rio cepak?
“Rio?”
Dia tidak menjawab malah menjauhiku dan mengangkat kedua kakiku sembari terus mengayun pantatnya maju-mundur. Aku terombang-ambing dalam kecemasan dan kenikmatan. Kadar kenikmatan yang berangsur surut karena cemas memikirkan dengan siapa sebenarnya aku mengadu kelamin kembali memuncak setelah dia menekan kedua pahaku ke bawah. Pahaku sedikit ngilu, tapi di lain pihak posisi ini membuat G-Spot tergesek dengan telak.
“Aaahh… Aaaaaarrggh!!”
Sesaat aku lupa kalau aku seharusnya tidak berteriak. Namun klimaks yang ketiga ini begitu memabukkan sehingga aku lupa diri. Liang vaginaku berdenyut kencang bersaing dengan debar jantungku. Tubuhku lemas, tapi dia terus menggoyangku dengan irama yang sama. Berulangkali kupanggil namanya dengan lirih, tapi tak ada jawaban. Kutarik lengannya namun dia bergeming.
Kecemasan kembali merajai hatiku. Bagaimana seandainya lelaki ini bukan Rio? Sepertinya sebentar lagi dia akan mencapai klimaks karena goyangannya makin kuat. Aku meronta, berusaha melepaskan diri, tapi sulit karena kedua pergelangan kakiku masih dalam cengkeramannya. Yang bisa kulakukan mundur, tapi sia-sia karena hasilnya hanyalah kepalaku yang terbentur pada headboard.
“Stop! Berhenti!” seruku sambil mencakar dan meninju perutnya yang rata. “Kau ini Rio atau bukan?”
Sebuah pertanyaan tolol. Dan lelaki ini pun tak tahan untuk tidak tertawa. Aku langsung ciut mendengar tawanya karena itu bukan tawa Rio. Dalam keremangan, kucoba menatap matanya. Mati aku, sudah jelas dia bukan Rio. Amarah dan sesal bergolak dalam dadaku.
“Apa bedanya? Kamu toh keenakan juga,” bisiknya mengejek.
Kucoba mengenali suaranya yang berat dan serak, tapi sulit lagipula pada saat yang bersamaan aku terus berjuang melepaskan diri. Dia terus terkekeh. Kukutuki kebodohanku. Bagaimana bisa aku baru mengenali bau tubuhnya yang berbeda dengan bau tubuh Rio setelah mandi keringat bersama sejak tadi? Astaga! Mana bajingan ini tidak pakai kondom! Bagaimana kalau dia mengidap penyakit seksual dan menularkannya padaku? Bagaimana kalau aku dihamilinya?
“Lepas… lepaskan aku…Lepaskan!”
Dia melepaskan kakiku, tapi langsung menindihku dan menciumiku dengan penuh nafsu. Aku gelagapan, panik karena usahaku memukuli kepala dan menjambaki rambutnya gagal total setelah kedua tanganku ditahan kuat-kuat ke kasur. Desis kesakitan bercampur nikmat keluar dari mulutku saat kedua payudaraku dilumat habis-habisan. Celaka! Apa kata Rio nanti? Aduh, sekarang mulutnya menyerang leherku lagi.
“Jangan…,” larangku sambil berjuang mengelak sebisaku.
Tapi percuma. Tanganku tak bisa bergerak karena ditahannya. Tendangan kedua kakiku ke paha dan pantatnya juga sia-sia. Malah dia seperti makin bernafsu merasakan tubuhku menggeliat ke sana kemari. Pantatnya terus berayun, memasak penisnya yang masih sekeras batu ke dalam liang vaginaku. Didekatkannya mulutnya ke telingaku sehingga aku bisa mendengar dengus napasnya. Sesekali telingaku diemutnya.
“f***… f***…”
Desahannya yang menjijikkan itu sama dengan makianku dalam hati.
Rio…
Apa yang harus kukatakan padanya bila dia tanya soal cupang yang bertebaran di tubuhku?
Aku diperkosa.
Sama siapa?
Aku nggak tahu. Tadinya kupikir dia itu kamu.
Kok bisa? Apa kamu nggak bisa membedakan aku dengan orang lain? Apa matamu ditutup? Jangan-jangan kamu sempat menikmatinya. Apa dia lebih memuaskan dariku? kont*lnya lebih besar? Lebih keras?
Jangan bilang begitu. Aku…
Jujur saja. Kamu menikmatinya kan? Kamu sering bilang gayaku kurang variatif.
Aku nggak pernah bilang begitu. Aku cuma bilang supaya kamu mencoba gaya baru. Itu pun nggak sering, cuma beberapa kali…
Sama saja. Sudah, ngaku saja, May, berapa ronde kamu dient*ti? Berapa kali kamu orgasme?
Rio…
Di mana?
Di kamarmu. Di malam pertama waktu outing di Puncak. Kenapa kamu nggak bilang kalau kamu tukar kamar? Siapa yang menempati kamar sialan itu? Waktu itu kamu sendiri ada di mana? Apa kamu tidur bersama Dina di hotel? Kenapa bukan kamu pergi tanpa bilang-bilang padaku?
Serangkaian tanya-jawab yang memenuhi benakku, membuatku makin marah pada diriku sendiri. Air mata dengan cepat menggenang di pelupuk mata dan dalam sekejap membentuk dua baris sungai kecil yang masing-masing bermuara di kedua sisi pelipisku. Lelaki itu tahu aku menangis, tapi tak peduli akan kehancuran hatiku. Desah napasnya malah makin memburu.
“Jangan di dalam.”
“Kenapa tidak?” jawabnya setengah tersengal.
“Brengsek. Awas, kalau berani...” makiku tertahan.
Dia mendengus mengejek. Aku juga tidak berkata apa-apa lagi karena gerakan memutar pinggulnya membuat simpul-simpul saraf kemaluanku bergetar. Aku bertahan untuk tidak mendesah, tapi gagal mencegah liang vaginaku berkontraksi.
“Hhhhggghhh!”
Tiba-tiba dia melenguh keras dan mencabut penisnya membuatku ikut melenguh dan cekalan pada tanganku menguat membuatku sakit dan…
Crot! Crot! Crot!
Semprotan spermanya menghujani perut dan dadaku. Kami berdua terengah. Untuk beberapa saat dia memandangiku sebelum mendekatkan wajahnya ke wajahku dan berbisik di telingaku,
“Rio memang goblok.”
Kemudian dia terkekeh puas. Kudorong tubuhnya sekuat tenaga lalu berlari keluar dari kamar. Aku tidak tahu apa dia tidak mengejarku dan apa ada yang melihatku berlari setengah telanjang bermandikan keringat campur air mata dan air mani.
Setibanya di kamar, aku bersandar pada pintu kamar dengan sekujur tubuh gemetar. Jantungku nyaris copot saat kudengar langkah kaki di luar. Saking paniknya kedua tanganku malah menjatuhkan anak kunci. Denting kunci di lantai terasa begitu lantang berdentang. Kubekap mulutku agar isak tangisku tak terdengar.
Entah berapa lama aku menangisi kebodohanku di situ. Setelah langkah kaki itu tak terdengar lagi, dengan terhuyung kuserbu kamar mandi. Yang kutuju kloset. Lalu aku muntah. Tidak banyak meski sesungguhnya aku ingin mengeluarkan semuanya, bukan cuma isi perutku, tapi juga otakku yang ternyata tidak lebih bagus dari otak kambing. Kegiatan bersih-bersih perut itu akhirnya usai, tapi hanya sejenak setelah kuingat celana dalam dan celana pendekku masih tertinggal di kamar sial itu.
cerita dewasa | Cerita Mesum | Cinta Tak Pernah Salah
Wednesday, 11 July 2012
Labels:
Cerita Mesum,
cerita ngentot,
Cerita Sex
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment